Wednesday 2 July 2014

Sic Transit Gloria Mundi?

 oleh: Y.B Mangunwijaya


Setiap ada Paus dinobatkan di Roma, dalam upacara selalu tampil seorang biarawan dina-miskin yang menghadap Paus sebelum dimahkotai. Membawa segenggam jerami. Jerami diletakkan di muka Paus dan dibakar. Dibakar sampai menjadi abu. Dan dengan suara serius biarawan berkata kepada Paus,

"Sic transit gloria mundi!" (begini mudahlah musnah kegelimangan dunia).

Peringatan keras dari rakyat-umat kepada pemimpinnya (setiap bentuk pemimpin) "Wahai Penguasa, seperti jerami jadi abu itulah kau akan musnah juga. Maka carilah gloria yang sejati, menjadi abdi para abdi. Dan jangan jadi penguasa; sebab hanya Tuhanlah satu-satunya Pemimpin dan Penguasa!"

Gloria mundi Prins Bernhard der Nederlanden sudah hancur. Mungkin dulu Pardi lebih tegak daripada Prins Bernhard sekarang. Tetapi betapa bagusnya: Prins Bernhard menemukan gloria lain: kegemilangan kesatria rendah yang rendah hati mengakui kesalahannya di hadapan rakyat dan seluruh dunia. Dan konsekuen ia memikul hukumannya. Masih tegak walaupun hancur. Tidak seperti Nixon atau ... (isi sendiri).

Belum sangat lama yang lalu, pernah suatu pesawat tempur Angkatan Udara Jepang menabrak pesawat sipil, sehingga semua penumpangnya gugur meninggal. Dan Menteri Pertahanan serta Menteri Perhubungan Jepang kala itu, konsekuen meletakkan jabatannya, walaupun yang bersalah adalah bawahannya yang paling bawah, si pilot pemburu. Lalu kedua mereka berlutut di muka setiap anggota keluarga korban kecelakaan, memohon ampun. Ini benar-benar tanggung jawab kesatria sejati. Bukan cuma menjawab tok, tapi orang lain yang disuruh menanggung.

Gloria mundi dalam saat tanggung jawab seperti itu sudah tidak punya arti lagi. Gloria coelestis (kegelimangan rahmat surgawi) yang bisa menyelamatkan. Pada bangsa Belanda dan Jepang ternyata tidak cuma ada imperialisme dan kapitalisme keji tok. Ada juga pada mereka suatu sikap kesatria perwira yang seumumnya belum ada pada pemimpin-pemimpin kita.

Kebudayaan kita masih kebudayaan yang beriklim penguasa zaman Bupati Lebak Multatuli (Tidak semua!). Gengsi yang ditakuti bawahan, ya itulah yang dicari. Berjiwa besar dalam kesalahan adalah tahap lebih tinggi lagi, karena justru dalam hina-dina manusiawilah kecemerlangan cahaya rahmat Allah lebih bersinar.

Kompas, 10 September 1976





*Saya ambil tulisan ini dari kumpulan tulisan Romo Mangun yang berjudul "Tumbal". Tulisan ini, saya kira, lumayan cocok untuk ikut serta dalam rangkaian pesta demokrasi.

No comments: