Sunday 18 October 2015

Rumah Baru

Saya akan memindahkan postingan saya ke rumah baru,

benegita.wordpress.com

Terima kasih sudah menjadi tempat persembunyian paling tersembunyi selama ini. Sudah saatnya saya pindah rumah untuk inspirasi yang lebih banyak lagi. :)

Wednesday 2 July 2014

Sic Transit Gloria Mundi?

 oleh: Y.B Mangunwijaya


Setiap ada Paus dinobatkan di Roma, dalam upacara selalu tampil seorang biarawan dina-miskin yang menghadap Paus sebelum dimahkotai. Membawa segenggam jerami. Jerami diletakkan di muka Paus dan dibakar. Dibakar sampai menjadi abu. Dan dengan suara serius biarawan berkata kepada Paus,

"Sic transit gloria mundi!" (begini mudahlah musnah kegelimangan dunia).

Peringatan keras dari rakyat-umat kepada pemimpinnya (setiap bentuk pemimpin) "Wahai Penguasa, seperti jerami jadi abu itulah kau akan musnah juga. Maka carilah gloria yang sejati, menjadi abdi para abdi. Dan jangan jadi penguasa; sebab hanya Tuhanlah satu-satunya Pemimpin dan Penguasa!"

Gloria mundi Prins Bernhard der Nederlanden sudah hancur. Mungkin dulu Pardi lebih tegak daripada Prins Bernhard sekarang. Tetapi betapa bagusnya: Prins Bernhard menemukan gloria lain: kegemilangan kesatria rendah yang rendah hati mengakui kesalahannya di hadapan rakyat dan seluruh dunia. Dan konsekuen ia memikul hukumannya. Masih tegak walaupun hancur. Tidak seperti Nixon atau ... (isi sendiri).

Belum sangat lama yang lalu, pernah suatu pesawat tempur Angkatan Udara Jepang menabrak pesawat sipil, sehingga semua penumpangnya gugur meninggal. Dan Menteri Pertahanan serta Menteri Perhubungan Jepang kala itu, konsekuen meletakkan jabatannya, walaupun yang bersalah adalah bawahannya yang paling bawah, si pilot pemburu. Lalu kedua mereka berlutut di muka setiap anggota keluarga korban kecelakaan, memohon ampun. Ini benar-benar tanggung jawab kesatria sejati. Bukan cuma menjawab tok, tapi orang lain yang disuruh menanggung.

Gloria mundi dalam saat tanggung jawab seperti itu sudah tidak punya arti lagi. Gloria coelestis (kegelimangan rahmat surgawi) yang bisa menyelamatkan. Pada bangsa Belanda dan Jepang ternyata tidak cuma ada imperialisme dan kapitalisme keji tok. Ada juga pada mereka suatu sikap kesatria perwira yang seumumnya belum ada pada pemimpin-pemimpin kita.

Kebudayaan kita masih kebudayaan yang beriklim penguasa zaman Bupati Lebak Multatuli (Tidak semua!). Gengsi yang ditakuti bawahan, ya itulah yang dicari. Berjiwa besar dalam kesalahan adalah tahap lebih tinggi lagi, karena justru dalam hina-dina manusiawilah kecemerlangan cahaya rahmat Allah lebih bersinar.

Kompas, 10 September 1976





*Saya ambil tulisan ini dari kumpulan tulisan Romo Mangun yang berjudul "Tumbal". Tulisan ini, saya kira, lumayan cocok untuk ikut serta dalam rangkaian pesta demokrasi.

Tuesday 24 June 2014




Hari ini terasa sekali suasana nostalgia. Padahal ini hanya hari biasa, bukan hari raya, bukan pula akhir pekan. Ini hari Senin, hari yang kurang disukai oleh sebagian pekerja di kota besar.

Suasana nostalgia terasa ketika saya ingat apa yang terjadi setahun yang lalu. Persis di tanggal ini, jam ini, menit ini, detik ini, saya memutuskan untuk memberanikan diri mengucapkan ucapan ulang tahun kepada seseorang yang belum lama saya kenal. Dekat pun tidak. Ia hanya sebatas kolega, tidak ada hubungan khusus apapun. Tapi setelah saya putuskan untuk mengucapkan selamat ulang tahun padanya, hari-hari saya berubah. Saat itu saya merasa, mungkin ini adalah sebuah awal yang baik dan dengan harapan akan berakhir dengan baik, tentunya. 



* * *


Saya takut untuk memulai. Saya bimbang. Harusnya saya ucapkan saja selamat ulang tahun tanpa kebimbangan dan kecemasan apapun. Pikiran saya pun berputar-putar disitu: haruskah saya ucapkan selamat ulang tahun kepadanya? Apakah tidak terkesan murahan?

Ah, memang dasar. Saya perempuan yang terlalu tinggi gengsi. Saya selalu berpikir seribu kali untuk memulai hal-hal macam ini. Tidak, sebenarnya saya takut penolakan. Saya takut jarak yang sudah lebar ini terbentang lebih lebar lagi. Semakin jauh untuk menjangkaunya, semakin sulit saya untuk mengenalnya.

Setelah berpikir seharian, saya pun memutuskan untuk mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya. Di dalam ucapan itu, saya selipkan kutipan tentang ulang tahun, kemudian saya sertakan ucapan selamat ulang tahun di akhir. Setelah itu, saya putuskann untuk tidak membuka-buka handphone saya selama 3 hari. Belakangan saya baru menyadari, ucapan dari saya punya bentuk yang berbeda dibandingkan berbagai ucapan yang berdatangan untuknya. Otot kaki pun seketika lemas. Pikiran negatif bermekaran. Dasar bodoh.

Selama saya tidak menyentuh handphone saya, tidak bisa menjalani hari-hari dengan tenang. Saya tidak tahan ingin membuka handphone saya dan melihat apakah ia memberi tanggapan atau malah mengacuhkan. Mungkin ia menyadari bahwa ucapan saya berbeda dengan ucapan-ucapandari teman-temannya. Apa ia menyadari bahwa saya memperlakukan ia berbeda? Kalau ia sadar, matilah saya.

Akhirnya hari itu tiba. Saya pun memberanikan diri untuk membuka handphone saya, melihat-lihat adakah tanggapan dari dia.

Ada. Dari dia.

Mampus.


Saya buka dan lihat apa yang ia tulis disitu. Ia mengucapkan terima kasih atas kutipan yang saya cantumkan dan menanyakan tentang festival film Jerman yang saya hadiri sebelumnya. Ah ya, ada cerita menarik di hari festival film itu.

Sehari sebelum ulang tahun dia, saya menghadiri sebuah festival film Jerman. Saat itu saya kebagian menonton film pukul 17.00. Saat itu sama sekali tidak terbesit pikiran akan dia. Saya fokus menghabiskan waktu bersama beberapa teman.

Pukul 16.45 saya memasuki studio, kemudian saya dan teman-teman saya pun sibuk mencari tempat duduk yang enak untuk menonton selama 2 jam kedepan. Setelah mendapatkan tempat duduk yang cocok, saya dan teman-teman pun langsung duduk serta diselingi candaan-candaan khas kami. Sama sekali tidak terbesit pikiran tentang dia. Hati saya begitu ringan dan tenang.


Film pun dimulai. Kala itu saya menonton film tentang seseorang yang dipenjara di Guantanamo, tapi ia tidak bersalah apapun. Ia menjadi korban kambing hitam atas berbagai macam tuduhan terorisme. Tokoh utamanya adalah seorang Jerman keturunan Turki. Jalan cerita film ini sangat khas Eropa, bukan tipikal film kejar setoran tapi sarat akan nilai. Pikiran saya benar-benar terpusat pada film dan popcorn yang saya beli sebelum masuk studio. Sama sekali tidak ada dia dalam pikiran saya.

Ketika sudah mulai menjelang akhir film, sebuah pikiran muncul.

"Seharusnya orang seperti dia sangat suka film semacam ini."

"Eh? Mungkin dia datang?"

Fokus saya pun buyar. Saya tidak berkonsentrasi akan akhir cerita. Saya bimbang dan, anehnya, saya begitu yakin dia datang. Seketika saya, yang tadinya antusias menantikan akhir cerita, jadi hanya bisa terdiam sambil memegang kotak popcorn dan memandangi film dengan tatapan kosong. Film itu ingin menyampaikan kepada seperti apa akhir ceritanya, tapi saya hanya tutup telinga. Pikiran saya sibuk menjelajah, karena saya begitu yakin dia ada disitu.

Seusai menonton film, saya pun bergegas keluar. Saya berbohong kepada teman saya, saya bilang saya ingin ke toilet. Padahal, saya hanya ingin memastikan kalau perasaan saya benar. Saya turun dari tempat duduk menuju pintu keluar dengan langkah cepat dan sedikit berlari. Saya menyelinap diantara banyak orang yang hendak keluar. Sesampainya saya di pintu keluar, langkah saya terhenti. Saya melihat sekeliling, mencari dia diantara sekian banyak orang yang berlalu lalang di bioskop. Saya lihat satu per satu muka orang-orang di sekitaran studio. Tidak ada.

"Kebiasaan membuat-kesenangan-sendiri ini memang harus segera dihilangkan. Benar-benar tidak baik untuk jasmani maupun rohani.", pikir saya.

Saya pun berjalan dalam tempo lambat sambil mencari celah kosong supaya teman-teman saya bisa dengan mudah menemukan saya. Dalam setiap langkah, yang saya lakukan hanyalah mengasihani diri sendiri. Betapa menyebalkan mengagumi seseorang itu, malah membuat saya tidak bisa berpikir lurus seperti ini. Ah ya sudahlah, heute ist es mein Pech. Memang sebaiknya dikurangi imajinasi saya yang kadang suka berlebihan dan insting saya yang kadang suka sok tahu ini.

Setelah menemukan spot kosong, saya berdiri disitu sambil menanti teman-teman saya. Tak lama kemudian teman-teman saya tampak dari kejauhan. Saya memberikan kode kepada mereka supaya mereka semua berkumpul di tempat saya. Kami pun segera membicarakan tempat untuk makan malam bersama. Hati saya masih kacau, seperti ada dua pribadi dalam diri saya yang saling ngotot.

"Dia datang, kok. Yakin, dia ada disini."

"Tidak, tidak. Itu hanya khayalanmu saja. Hentikan segera. Kembalilah berpijak ke tanah."

Sudahlah. Berisik. Saya mau senang-senang.

Ketika saya dan teman-teman saya ingin bergerak keluar dari bioskop, muncul dia disitu bersama keluarganya. Mata kami bertemu dan saling melambaikan tangan dari kejauhan. Saya ingat kala itu ia memakai kaos putih yang dilapisi dengan kemeja kotak-kotak berwarna oranye sebagai luaran, rambut yang sepertinya baru saja dicukur, celana jeans, dan sepatu kets yang sering ia pakai ke tempat les. Saya berusaha menguasai diri untuk tampil biasa saja. Tapi memang, peristiwa bioskop itu adalah peristiwa yang benar-benar membuat saya sumringah sekaligus semakin bimbang sekaligus takjub. 

Insting saya benar. Kali ini insting saya benar. Apa yang hendak insting saya katakan kepada saya? Apakah dia orangnya? Atau hanya perasaan saya saja?

Dari kejauhan saya dan dia pun hanya menanyakan hal-hal biasa. Datang dengan siapa, hendak menonton film apa, dll. Tidak ada kejadian-kejadian spesial, hanya pertemuan biasa di bioskop. Setelah basa-basi, saya pun pamit dan kembali ke dalam gerombolan teman-teman saya.

Terkadang, memang bukan hal-hal luar biasa yang membuat kita senang atau takjub. Hal sederhana pun bisa terasa indah dan menyenangkan, apalagi kalau hal sederhana itu terjadi secara alami.

Oke, kembali ke cerita ulang tahun.

Saya sangat senang karena respon yang ia lontarkan baik. Ia menyelipkan satu pertanyaan diantara ucapan terima kasih yang ia ucapkan. Pikiran saya pun melayang lagi. Apakah ia ingin melanjutkan obrolan? Atau hanya sekedar bertanya? Dan lagi-lagi, saya bimbang seharian untuk menyusun kata-kata balasan untuknya. Berulang-ulang saya menyusun kalimat balasan untuk dia, dan ketika saya merasa yakin dengan susunan kata yang telah saya buat, saya pun langsung kirim.

Apapun yang saya lakukan, yang berkaitan dengan dia, selalu membuat saya merasa bodoh. Sekalipun semua itu sudah direncanakan dengan baik, tetap saja berakhir dengan "Ya ampun, kenapa begini jadinya? Payah.".

Obrolan itu memang hanya berlangsung sebentar dan singkat, tapi hati pun menjadi hangat dan senyum pun tak lekas hilang dari wajah saya. Entah sampai kapan semua ini akan berlangsung, tapi saya bersyukur karena hati yang beku sekian lama pun mencair juga karena hal-hal sederhana dan alami semacam ini. 


* * *


Sekarang, sudah setahun sejak semua kejadian itu. Keadaan berubah. Ia sedang bersiap menjalani kehidupan keduanya di negeri seberang, dan saya disini masih merancang kehidupan kedua saya sampai benar-benar sempurna. Bagaimana dengan kami? Tidak ada kami, hanya ada saya sendiri dan dia seorang.

Perjalan pulang saya dari gereja sampai kostan ditemani hujan rintik-rintik. Ini persis, seperti setahun yang lalu.

P.S:
Selamat ulang tahun. Tetaplah menjadi pribadi yang sederhana dimanapun kamu berada. 
 
Bandung, 23 Juni 2014
20:39 WIB



Monday 16 June 2014





kamu berpikir
aku menunduk























kamu bertanya
tidak langsung kujawab




















kamu semakin penasaran
aku semakin takut

























kamu menatapku
akhirnya aku dengan sok berani menatapmu



























kamu pun diam
aku, yang harusnya menjawab pertanyaanmu
ikut diam juga



























aku tengok barisan bukit yang berbaris rapi di sebelah kiriku


























kamu masih menatapku


























angin dingin berhembus
melintasi wajah dan rambutku
membelai, memanggil
membawa pesan























aku menutup mata
menarik nafas
menghela nafas





















 aku berkata, sambil bergetar,

















"iya."

 

Thursday 8 May 2014


tengok kanan-kiri.
mendengar mesin yang berlalu lalang
lihat ke atas
ada cicak yang mencari perhatian
lihat ke bawah
ada gerombolan debu di sana
tangan tak berhenti bekerja
kepala tak berhenti beruap
mata terbuka dengan terpaksa
sesekali aku kabur
untuk melihat dunia di luar sana
dari gambar bergerak di dalam kaca
mata jadi punya alasan untuk tetap terbuka
fantasi di dalam kepala seringan kapas
tangan pun ikut diam terpesona
kemudian
kapsul racun pun pecah

ah, kau tidak tahu tentang kapsul racun?
di dalam tubuhku
tertanam semacam kapsul racun
yang memaksaku selalu bekerja
memaksaku selalu berpikir
bahwa daratan adalah tempatku semestinya
air dan udara adalah buatan iblis
aku akan mati kalau nekat menyentuhnya
hidupmu adalah segala hal
yang dapat kau sentuh sekarang
yang berada disini
bukan disana

kapsul racun pecah
seperti mati kesekian kalinya
seperti tersedot sampai habis
ke dalam blackhole
nyeri luar biasa
tapi tertahan karena sudah biasa
nelangsa
tapi itu hanya sekilas
semua seketika hilang
habis
tanpa sisa

dan saya pun kembali lagi
tangan tak berhenti bekerja
kepala tak berhenti beruap
mata terbuka dengan terpaksa


Friday 31 January 2014

Menikmati Kenikmatan yang Nikmat

Saat saya masih duduk di bangku SMA, saya suka menenggelamkan diri saya ke dalam banyak hal demi mencari setitik kenikmatan. Setelah sekian lama mencari, akhirnya saya menemukan. Dan kenikmatan versi saya si remaja tanggung pada masa itu adalah ketika saya membaca novel kolosal di tengah situasi belajar yang sangat membosankan sambil menyumbat telinga mendengarkan Herbie Hancock dan David Benoit. Dibandingkan dengan anak-anak lain, bisa dibilang saya ini alien. Tapi, bukankah dalam mencari kenikmatan batin, seseorang perlu menjadi alien sejenak?

Karena terlalu asyik menjadi alien, saya pun sempat lupa bagaimana caranya bertransformasi kembali menjadi manusia, menjadi remaja tanggung pada umumnya. Agak sulit memang, mengingat topik pembicaraan dan kegemaran yang sudah jauh berbeda. Pelan-pelan saya mencoba mendengarkan apa yang mereka dengar, membaca apa yang mereka baca, memakan apa yang mereka makan, menertawakan hal yang mereka tertawakan (walaupun saya tidak tahu di bagian mana letak kelucuannya). Saya jenuh dengan segala aksi coba mencoba ini, dan saya pun memutuskan untuk tetap menjadi alien. Saya tidak ingin mencoba hal baru. Saya akan tetap menjadi seorang remaja tanggung yang lebih suka duduk di pojokan kelas sambil mendengarkan musik Jazz dan membaca buku.

Memasuki dunia perkuliahan, saya pun memutuskan untuk mencoba segala sesuatu demi mencari bentuk kenikmatan batin yang lain. Saya mulai mengikuti kegiatan mahasiswa dan berbagai macam pertemuan dari berbagai bidang ilmu, kegemaran, dan keahlian. Pelan-pelan saya ikuti, tidak perlu terburu-buru. Sampai akhirnya saya sampai di suatu titik, bahwa kenikmatan itu sejatinya ada dimana-mana dan cara menikmati suatu hal pun berbeda-beda. Ketika tahu cara menikmati, disitulah kenikmatan akan diraih. Cara menikmati Sejarah tidak seperti ketika menikmati Kalkulus. Cara menikmati Death Metal pun jauh berbeda dengan cara menikmati musik-musik Celtic. Nikmat membaca tidak akan sama seperti nikmat terjun langsung untuk menjadi pekerja sosial. Dalam menikmati teh, orang Jepang dan Inggris pun punya cara yang berbeda. Tapi tujuannya satu, kenikmatan.

Begitu berlimpah kenikmatan di sekitar kita, tanpa kita sadari. Bukan nikmat yang harus mengikuti kita, tapi kita yang harus pandai membaca nilai kenikmatan dan mencari cara untuk meraih kenikmatan akan suatu hal, bahkan banyak hal.

Tuesday 14 January 2014



Tidak ada yang lebih seru selain mencoba menerjemahkan bahasa alam. Alam adalah yang terdekat dengan kita. Tuhan berbicara melalui alam. Tuhan tidak sejauh doa yang meraung-raung bising, Tuhan itu dekat. Seberapa dekat? Tergantung seberapa akrab alam mau bersentuhan denganmu dan seberapa dekat kamu mau berdekatan dengan alam.

Jatinangor, 11 Juli 2013