Sunday 16 June 2013

Begitu selesai mengerjakan tugasnya, Wulan rebahan sejenak di kasur ukuran single miliknya. Wulan merasa lega. Nafas panjang dikeluarkannya, menandai kebebasannya setelah ditawan oleh tugas beberapa waktu belakangan ini. Sakit badan dari sejak memulai mengerjakan tugas terangkum saat ini. Mata yang terus dipaksa untuk selalu terbuka lebar pun protes dan ingin segera beristirahat. Akhirnya, dalam kepasrahan dan kelegaan penuh, Wulan terlelap.

Wulan berada di suatu tempat yang asing, tapi ia senang berada di dalamnya. Perpustakaan yang belum pernah ia datangi sebelumnya, perpustakaan yang penuh akan buku-buku yang selama ini ingin sekali ia baca. Wulan pun berjalan kesana kemari dengan penuh semangat. Wulan berjalan menyusuri rak buku sambil mengambil satu per satu buku yang ingin ia baca. Selesai mengambil buku, ia pun berjalan menuju meja untuk membacanya. Wulan mengambil salah satu buku, ia pun segera membuka halaman pertama. Kosong. Wulan pun bingung. Seketika ia melihat orang-orang di sekitarnya, mereka semua membaca dengan serius. Mereka membaca buku-buku kosong. Apa yang ada di pikiran mereka? Ia pun segera membuka satu per satu buku-buku yang ia ambil. Kosong. Semuanya kosong, tidak ada setitik pun tinta di kertasnya. Wulan mulai gelisah. Orang-orang disekitarnya pun memandang ia dengan heran dan kesal karena gerak-gerik Wulan menimbulkan suara-suara mengganggu. Sepertinya Wulan harus segera pergi dari tempat itu. Ia tertunduk malu sambil melangkah ke arah pintu. Ketika ia membuka pintu, ia melihat ruangan kecil miliknya. Ruangan itu keadaannya persis seperti ketika ia baru saja mengerjakan tugas. Ia berjalan menuju tempat tidur. Ia pun terkejut. Ia melihat dirinya sendiri tertidur pulas karena kelelahan. Wulan segera lari keluar karena ketakutan. Dalam pikirannya, Wulan pun heran. Mimpi macam apa ini? Kenapa ia melihat dirinya sendiri tertidur pulas? Apakah ia sekarang dalam wujud roh? Apakah ia mati dalam tidurnya? Ia pun keluar dari ruangan itu. Di balik pintu, ia melihat ada taman dengan bangku yang menghadap sungai. Suasana yang damai, pikirnya. Setelah berbagai macam hal-hal absurd ia lihat, ia pun mendapati tempat yang damai ini. Ia melihat ada seorang lelaki sedang duduk menyendiri di bangku taman. Wulan penasaran. Ia segera menghampiri lelaki itu dan turut duduk di sebelahnya. Wajah pria ini familiar, tapi Wulan tidak tahu namanya. Mungkin lebih baik untuk tidak tahu namanya, sebelum berbagai keanehan terjadi lagi. Tiba-tiba, lelaki itu berbicara kepada Wulan.
"Kelihatannya kau sedang tidak berbahagia."
"Aku lebih suka sebutan 'penuh pertimbangan' daripada tidak berbahagia."
Wulan terkejut lagi. Ini bukan dirinya yang menjawab. Ia merasa seperti dikendalikan sesuatu. Wulan ingin berhenti menjawab. Ia berusaha untuk mengendalikan mulutnya untuk tidak berbicara apapun.
"Pertimbangan? Kau sudah menikah. Apalagi yang kau pertimbangkan?"
"Kebutuhanku. Aku mempertimbangkan apakah sebenarnya aku membutuhkan pernikahan."
Lagi, Wulan merasa dikendalikan. Bagaimana cara supaya mulut ini berhenti berbicara yang bukan berasal dari pikirannya. Wulan merasa seperti film kartun yang bahasanya dialihkan oleh pengisi suara. Ia dikendalikan oleh skenario tak bertuan. Entah apapun itu, Wulan tetap berusaha melawan.
"Kau selalu memikirkan hal-hal tidak penting, kau tidak berubah."
"Kau selalu tahu aku tidak akan pernah berubah."
Ketakutan Wulan sekarang mulai berubah menjadi rasa penasaran. Ia memang dikendalikan oleh entah siapa, tapi sekarang sepertinya Wulan tahu ia akan dibawa kemana. Wulan menyadari ia sedang menjadi media atas skenario tak bertuan. Lagipula, pikir Wulan, kali ini bukanlah sesuatu yang harus ditakutkan atau dicegah. Sepertinya ia harus santai dan luwes, agar bisa menjadi media bagi skenario tak bertuan. Kali ini ia memutuskan untuk tidak bertanya-tanya lagi, dan membiarkannya mengalir.
"Jadi, bagaimana suamimu?"
"Baik. Ia sangat menjagaku. Kau tidak perlu khawatir soal itu, tapi ada satu kekurangannya."
"Kekurangan? Kekurangan apa?"
"Suamiku tidak bisa diajak menggilai kebebasan."
"Kebebasan tidak akan pernah ada disini."
"Aku membuat ruang yang lapang dalam diriku untuk dijelajah dan diisi oleh kegilaan-kegilaan. Aku ingin ruangan tanpa sekat, penuh kejujuran dan keluguan. Sedangkan suamiku selalu beranggapan bahwa kegilaan itu tidak ada. Ia menyekat jiwanya terlalu banyak, sampai tak sempat ia tahu bahwa ketika ia mati, ia harus merapihkan sekat-sekat itu sendiri. Entahlah. Aku tidak ingin membantunya. Aku ingin jiwa tak bersekat, tak berujung, ruang dimana halal atau haram hanya akan teronggok sia-sia dalam tong sampah. Dan aku merindukan semua itu."
Wulan perlahan mulai ikut mengalir dan merasa seperti mulai terasuk jiwanya oleh si empunya skenario.
"Kau banyak omong. Semakin kau banyak omong, semakin aku rindu, Wulan."

Wulan terbangun dengan terkejut dan penuh pertanyaan. Siapakan dia? Lelaki asing dalam mimpi, yang dengan kurang ajarnya menyatakan rindu. Wulan pun segera mengambil segelas air putih dan meminumnya supaya ia merasa lebih baik. Sekarang jantungnya berdegup sangat kencang. Dadanya sakit, nafasnya sesak.  Wulan mulai merasa takut. Ia merasa dihantui oleh entah apa dan siapa. Wulan duduk sambil berusaha mengingat semua perbuatan-perbuatannya dan mencerna maksud dari semua ini.





No comments: