Saturday 7 September 2013

Matahari masih bersembunyi. Langit masih belum terang. Kabut berbondong-bondong mengeroyok sebuah desa kecil yang terletak di atas bukit itu. Walaupun demikian, hal itu bukanlah alasan bagi seorang Saraswati untuk terlambat bangun pagi. Gadis kecil yang masih berusia 7 pasang musim ini selalu bersemangat dalam memulai hari. Dengan bergegas ia mandi, berpakaian, merapihkan diri, kemudian dengan secepat mungkin kaki-kaki kecilnya berlari menuju alun-alun desa. Alun-alun masih kosong. Ia menjadi yang pertama datang. Ia pun duduk di salah satu sudut alun-alun sambil sambil memakan gethuk yang ia bawa dari rumah.

Sejak setahun yang lalu, Saraswati mempunyai kebiasaan baru setiap pagi yang tak akan pernah ingin ia lewatkan: mendengarkan dongeng. Bagi Saraswati, dongeng adalah hal asing yang mengasyikan. Maklum saja, desa tempat Saraswati tinggal tergolong desa yang jarang disentuh oleh masyarakat luar. Letaknya yang nun jauh di atas bukit serta medan yang berat membuat desa ini benar-benar terpencil. Mayoritas masyarakatnya buta huruf. Masyarakat disana masih berpikir bahwa pendidikan itu tidak penting. Keterampilan mengelola kebun dan sawah lah yang menjadi keutamaan. Keluarga Saraswati pun salah satunya. Tidak ada satupun keluarganya yang mengenyam pendidikan formal. Saraswati, yang terus merengek ingin bersekolah, hanya bisa menerima paisan kosong. Rengekan Saraswati selalu ditangkis dengan omelan orang tua nya. Lelah meminta, akhirnya Saraswati memutuskan untuk diam dan mengubur impiannya untuk bersekolah dalam-dalam.

Sampai pada suatu ketika, ada orang asing yang datang ke desa. Kedatangan orang tersebut menjadi pembicaraan di seluruh desa. Ada orang asing! Untuk apa ia datang ke desa ini? Orang baik kah? Atau orang lain yang ingin mengobrak-abrik kedamaian desa kami, seperti kaum berseragam coklat dan rambut klimis yang pernah datang kesini? Saraswati pun ikut penasaran. Siapa orang ini? Kemudian, orang asing ini berjalan menuju alun-alun desa, berteriak memanggil semua orang untuk berkumpul. Takut sekaligus penasaran menyelimuti seluruh warga desa. Berani sekali ia, orang asing, memerintahkan kami semua. Tapi tidak bagi Saraswati. Penasaran, ia pun mengikuti instruksi dari orang asing tersebut. Bersama dengan para orang dewasa yang sepertinya sudah siap untuk menghabisi orang asing ini, ia mendekat. Orang asing ini tampak tenang dan gembira. Ia pun menyampaikan maksud dan tujuannya datang ke desa ini: ia ingin mendongeng. Dongeng? Apa itu? Apakah itu semacam paham baru yang akan menghancurkan sistem desa ini? Orang asing ini pun menjelaskan dengan ringan tentang apa itu dongeng. Saraswati menilai orang asing ini cukup menarik, karena ia bisa menjelaskan segala hal dengan ringan dan tenang tanpa takut akan dikeroyok massa. Walaupun ia memakai pakain yang, menurut masyarakat desa, aneh, insting Saraswati berkata bahwa orang ini adalah orang yang baik dan tidak akan menghancurkan desa ini. Ia datang untuk maksud dan tujuan yang baik, tidak sepeti kaum berseragam coklat berambut klimis yang waktu itu pernah menyambangi desanya. Setelah mendengar jawaban dari orang asing ini, warga desa ingin melihat aktifitas asing yang bernama mendongeng itu. Orang asing ini duduk, membuka tas nya, mengeluarkan sebuah buku bergambar aneh, membuka halaman demi halaman, kemudian membacakannya. Orang asing ini bercerita tentang kisah anak itik yang buruk rupa. Membosankan, pikir beberapa masyarakat desa. Saraswati pun terpesona. Instingnya semakin keras berkata bahwa ia adalah orang yang baik dan akan membantu Saraswati untuk melakukan banyak hal. Ia selalu terpesona dengan siapapun yang bisa membaca dan menulis, hal yang mungkin tidak akan pernah bisa ia lakukan selamanya.

Bagi Saraswati, membaca dan menulis adalah hal yang sakral. Tidak semua orang bisa melakukannya. Ia mendengar dengan seksama setiap kata yang dituturkan oleh orang asing ini, memperhatikan halaman demi halaman yang dibuka satu per satu, memperhatikan gerakan-gerakan kocak yang dilakukan, binar mata si orang asing yang penuh dengan semangat menceritakan segala sesuatu. Saraswati semakin tidak ingin beranjak. Semakin lama ia semakin larut dalam kisah si orang asing ini. Di dalam hati, Saraswati memutuskan akan menjadi pendengar setia bersama denga warga desa lainnya. Hati Saraswati bagaikan pengelana yang hampir mati kehausan di gurun dan menemukan oase paling hijau segar. Pulang ke rumah, Saraswati senyum sumringah tiada henti.

Gethuknya telah habis. Keramaian mulai terbentuk di tengah alun-alun. Orang asing itu telah tiba. Saraswati pun berlari menuju pusat keramaian. Ia duduk di barisan paling depan. Ia tidak ingin melewatkan setiap dongeng yang akan ia dengar.

Sebelum mendongeng, orang asing tersebut memberikan sebuah pengumuman terlebih dahulu. Aneh. Tumben sekali. Ada pengumuman apa ini? Orang asing tersebut berkata bahwa ia harus kembali ke tempat asalnya dan mungkin tidak akan kembali ke desa ini lagi. Saraswati pun seketika terkejut seraya berpikir. Kalau tidak ada orang asing ini, siapa lagi yang akan membacakan dongeng-dongeng luar biasa untuknya dan anak-anak lainnya? Baru setahun ia baru merasa gembira dan bebas, kemudian mulai sekarang sepertinya ia akan terpenjara lagi oleh adat dan keluarga. Saraswati patah hati dan sakit hati. Sakit yang benar-benar jauh di dasar hati. Pertahanannya runtuh. Saraswati menangis dalam diam. Baru saja ia mulai belajar mencintai dongeng, dan ketika sudah kepalang tanggung cintanya kepada dongeng, sang pendongeng pun harus pergi. Ia tidak tahu lagi dimana lagi ia bisa mendengar kisah Hansel dan Gretel, siapa lagi yang akan membacakan kisah Putri Salju. Harapannya tergantung tinggi pada orang asing ini, yang selama ini selalu menjadi panutan bagi seorang Saraswati. Ketidakmampuannya dalam membaca dan menulis pun dapat digantikan dengan mendengar, dan ia pun senang. Namun ternyata dongeng hari ini akan menjadi dongeng terakhir yang akan ia dengar dari orang asing tersebut.

Setelah selesai mendongeng, orang asing ini berpamitan kepada seluruh warga desa yang giat mendengarkan kisahnya. Tanpa malu-malu, Saraswati memeluk orang asing ini. Dalam pelukan ia bertanya, kenapa ia harus pergi meninggalkan kami semua? Siapakah yang kelak akan membacakan dongeng untuknya? Orang asing tersebut tersenyum penuh haru. Ia tidak tahu bahwa kehadirannya sangat berarti bagi anak ini. Kemudian orang asing ini menjawab, "Kelak, ketika kamu dewasa, kamu akan mengerti." Saraswati tidak ingin mengerti. Otaknya terlalu kecil untuk memahami intrik kehidupan dewasa yang rumit. Yang ia tahu, ia mencintai dongeng dan ia ingin selalu mendengarkan dongeng.


No comments: