Tuesday 24 June 2014




Hari ini terasa sekali suasana nostalgia. Padahal ini hanya hari biasa, bukan hari raya, bukan pula akhir pekan. Ini hari Senin, hari yang kurang disukai oleh sebagian pekerja di kota besar.

Suasana nostalgia terasa ketika saya ingat apa yang terjadi setahun yang lalu. Persis di tanggal ini, jam ini, menit ini, detik ini, saya memutuskan untuk memberanikan diri mengucapkan ucapan ulang tahun kepada seseorang yang belum lama saya kenal. Dekat pun tidak. Ia hanya sebatas kolega, tidak ada hubungan khusus apapun. Tapi setelah saya putuskan untuk mengucapkan selamat ulang tahun padanya, hari-hari saya berubah. Saat itu saya merasa, mungkin ini adalah sebuah awal yang baik dan dengan harapan akan berakhir dengan baik, tentunya. 



* * *


Saya takut untuk memulai. Saya bimbang. Harusnya saya ucapkan saja selamat ulang tahun tanpa kebimbangan dan kecemasan apapun. Pikiran saya pun berputar-putar disitu: haruskah saya ucapkan selamat ulang tahun kepadanya? Apakah tidak terkesan murahan?

Ah, memang dasar. Saya perempuan yang terlalu tinggi gengsi. Saya selalu berpikir seribu kali untuk memulai hal-hal macam ini. Tidak, sebenarnya saya takut penolakan. Saya takut jarak yang sudah lebar ini terbentang lebih lebar lagi. Semakin jauh untuk menjangkaunya, semakin sulit saya untuk mengenalnya.

Setelah berpikir seharian, saya pun memutuskan untuk mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya. Di dalam ucapan itu, saya selipkan kutipan tentang ulang tahun, kemudian saya sertakan ucapan selamat ulang tahun di akhir. Setelah itu, saya putuskann untuk tidak membuka-buka handphone saya selama 3 hari. Belakangan saya baru menyadari, ucapan dari saya punya bentuk yang berbeda dibandingkan berbagai ucapan yang berdatangan untuknya. Otot kaki pun seketika lemas. Pikiran negatif bermekaran. Dasar bodoh.

Selama saya tidak menyentuh handphone saya, tidak bisa menjalani hari-hari dengan tenang. Saya tidak tahan ingin membuka handphone saya dan melihat apakah ia memberi tanggapan atau malah mengacuhkan. Mungkin ia menyadari bahwa ucapan saya berbeda dengan ucapan-ucapandari teman-temannya. Apa ia menyadari bahwa saya memperlakukan ia berbeda? Kalau ia sadar, matilah saya.

Akhirnya hari itu tiba. Saya pun memberanikan diri untuk membuka handphone saya, melihat-lihat adakah tanggapan dari dia.

Ada. Dari dia.

Mampus.


Saya buka dan lihat apa yang ia tulis disitu. Ia mengucapkan terima kasih atas kutipan yang saya cantumkan dan menanyakan tentang festival film Jerman yang saya hadiri sebelumnya. Ah ya, ada cerita menarik di hari festival film itu.

Sehari sebelum ulang tahun dia, saya menghadiri sebuah festival film Jerman. Saat itu saya kebagian menonton film pukul 17.00. Saat itu sama sekali tidak terbesit pikiran akan dia. Saya fokus menghabiskan waktu bersama beberapa teman.

Pukul 16.45 saya memasuki studio, kemudian saya dan teman-teman saya pun sibuk mencari tempat duduk yang enak untuk menonton selama 2 jam kedepan. Setelah mendapatkan tempat duduk yang cocok, saya dan teman-teman pun langsung duduk serta diselingi candaan-candaan khas kami. Sama sekali tidak terbesit pikiran tentang dia. Hati saya begitu ringan dan tenang.


Film pun dimulai. Kala itu saya menonton film tentang seseorang yang dipenjara di Guantanamo, tapi ia tidak bersalah apapun. Ia menjadi korban kambing hitam atas berbagai macam tuduhan terorisme. Tokoh utamanya adalah seorang Jerman keturunan Turki. Jalan cerita film ini sangat khas Eropa, bukan tipikal film kejar setoran tapi sarat akan nilai. Pikiran saya benar-benar terpusat pada film dan popcorn yang saya beli sebelum masuk studio. Sama sekali tidak ada dia dalam pikiran saya.

Ketika sudah mulai menjelang akhir film, sebuah pikiran muncul.

"Seharusnya orang seperti dia sangat suka film semacam ini."

"Eh? Mungkin dia datang?"

Fokus saya pun buyar. Saya tidak berkonsentrasi akan akhir cerita. Saya bimbang dan, anehnya, saya begitu yakin dia datang. Seketika saya, yang tadinya antusias menantikan akhir cerita, jadi hanya bisa terdiam sambil memegang kotak popcorn dan memandangi film dengan tatapan kosong. Film itu ingin menyampaikan kepada seperti apa akhir ceritanya, tapi saya hanya tutup telinga. Pikiran saya sibuk menjelajah, karena saya begitu yakin dia ada disitu.

Seusai menonton film, saya pun bergegas keluar. Saya berbohong kepada teman saya, saya bilang saya ingin ke toilet. Padahal, saya hanya ingin memastikan kalau perasaan saya benar. Saya turun dari tempat duduk menuju pintu keluar dengan langkah cepat dan sedikit berlari. Saya menyelinap diantara banyak orang yang hendak keluar. Sesampainya saya di pintu keluar, langkah saya terhenti. Saya melihat sekeliling, mencari dia diantara sekian banyak orang yang berlalu lalang di bioskop. Saya lihat satu per satu muka orang-orang di sekitaran studio. Tidak ada.

"Kebiasaan membuat-kesenangan-sendiri ini memang harus segera dihilangkan. Benar-benar tidak baik untuk jasmani maupun rohani.", pikir saya.

Saya pun berjalan dalam tempo lambat sambil mencari celah kosong supaya teman-teman saya bisa dengan mudah menemukan saya. Dalam setiap langkah, yang saya lakukan hanyalah mengasihani diri sendiri. Betapa menyebalkan mengagumi seseorang itu, malah membuat saya tidak bisa berpikir lurus seperti ini. Ah ya sudahlah, heute ist es mein Pech. Memang sebaiknya dikurangi imajinasi saya yang kadang suka berlebihan dan insting saya yang kadang suka sok tahu ini.

Setelah menemukan spot kosong, saya berdiri disitu sambil menanti teman-teman saya. Tak lama kemudian teman-teman saya tampak dari kejauhan. Saya memberikan kode kepada mereka supaya mereka semua berkumpul di tempat saya. Kami pun segera membicarakan tempat untuk makan malam bersama. Hati saya masih kacau, seperti ada dua pribadi dalam diri saya yang saling ngotot.

"Dia datang, kok. Yakin, dia ada disini."

"Tidak, tidak. Itu hanya khayalanmu saja. Hentikan segera. Kembalilah berpijak ke tanah."

Sudahlah. Berisik. Saya mau senang-senang.

Ketika saya dan teman-teman saya ingin bergerak keluar dari bioskop, muncul dia disitu bersama keluarganya. Mata kami bertemu dan saling melambaikan tangan dari kejauhan. Saya ingat kala itu ia memakai kaos putih yang dilapisi dengan kemeja kotak-kotak berwarna oranye sebagai luaran, rambut yang sepertinya baru saja dicukur, celana jeans, dan sepatu kets yang sering ia pakai ke tempat les. Saya berusaha menguasai diri untuk tampil biasa saja. Tapi memang, peristiwa bioskop itu adalah peristiwa yang benar-benar membuat saya sumringah sekaligus semakin bimbang sekaligus takjub. 

Insting saya benar. Kali ini insting saya benar. Apa yang hendak insting saya katakan kepada saya? Apakah dia orangnya? Atau hanya perasaan saya saja?

Dari kejauhan saya dan dia pun hanya menanyakan hal-hal biasa. Datang dengan siapa, hendak menonton film apa, dll. Tidak ada kejadian-kejadian spesial, hanya pertemuan biasa di bioskop. Setelah basa-basi, saya pun pamit dan kembali ke dalam gerombolan teman-teman saya.

Terkadang, memang bukan hal-hal luar biasa yang membuat kita senang atau takjub. Hal sederhana pun bisa terasa indah dan menyenangkan, apalagi kalau hal sederhana itu terjadi secara alami.

Oke, kembali ke cerita ulang tahun.

Saya sangat senang karena respon yang ia lontarkan baik. Ia menyelipkan satu pertanyaan diantara ucapan terima kasih yang ia ucapkan. Pikiran saya pun melayang lagi. Apakah ia ingin melanjutkan obrolan? Atau hanya sekedar bertanya? Dan lagi-lagi, saya bimbang seharian untuk menyusun kata-kata balasan untuknya. Berulang-ulang saya menyusun kalimat balasan untuk dia, dan ketika saya merasa yakin dengan susunan kata yang telah saya buat, saya pun langsung kirim.

Apapun yang saya lakukan, yang berkaitan dengan dia, selalu membuat saya merasa bodoh. Sekalipun semua itu sudah direncanakan dengan baik, tetap saja berakhir dengan "Ya ampun, kenapa begini jadinya? Payah.".

Obrolan itu memang hanya berlangsung sebentar dan singkat, tapi hati pun menjadi hangat dan senyum pun tak lekas hilang dari wajah saya. Entah sampai kapan semua ini akan berlangsung, tapi saya bersyukur karena hati yang beku sekian lama pun mencair juga karena hal-hal sederhana dan alami semacam ini. 


* * *


Sekarang, sudah setahun sejak semua kejadian itu. Keadaan berubah. Ia sedang bersiap menjalani kehidupan keduanya di negeri seberang, dan saya disini masih merancang kehidupan kedua saya sampai benar-benar sempurna. Bagaimana dengan kami? Tidak ada kami, hanya ada saya sendiri dan dia seorang.

Perjalan pulang saya dari gereja sampai kostan ditemani hujan rintik-rintik. Ini persis, seperti setahun yang lalu.

P.S:
Selamat ulang tahun. Tetaplah menjadi pribadi yang sederhana dimanapun kamu berada. 
 
Bandung, 23 Juni 2014
20:39 WIB



No comments: